Rabu, 25 Desember 2013

Sejarah Setrika dan Bahagianya Menyetrika

Menyetrika pakaian setiap hari?
 
Sama seperti mencuci piring, pekerjaan ini pun cukup membosankan. Itulah sebabnya, para ibu rumah tangga kalangan menengah ke atas, banyak yang berusaha membebaskan diri. Karena ada anggaran, pekerjaan itu mereka limpahkan kepada pembantu. Cukup bagus dilihat dari sudut memperluas lapangan kerja. Ini salah satu cara berbagi dengan kaum dluafa.

Akan tetapi, bagaimana dengan Anda, yang sudah berkelit dari tugas ini? Jangankan upah buat mempekerjakan orang, buat kebutuhan pokok rumah tangga saja masih sangat kurang.

Jangan khawatir, Anda di pihak saya. Ini pekerjaan tercinta kita, yang layak karenanya kita bahagia dan berbangga-bangga. Sama seperti mencuci piring, menyetrika pakaian pun ibadah mulia. Dan karena setrika telah ada dalam sejarah, maka aktifitas menyertika pakaian sebenarnya aktifitas bersejarah. Keren bukan?

Kata setrika berasal dari Belanda, yaitu strijkijzer, yang artinya menghilangkan kerutan dari baju dengan alat yang dipanaskan. Bangsa Cina sudah mengenal setrika sejak satu abad sebelum masehi. Pada saat itu, mereka menggunakan wajan besi dengan pegangan panjang yang berisi batu bara. Wajan ini kemudian ditekankan kepada baju untuk merapikannya.

Pada tahun 400 SM, setrika mulai dikenal dan digunakan oleh bangsa Yunani. Saat itu setrika dibuat dan digunakan untuk membuat lipatan-lipatan vertikal pada pakaian-pakaian kebesaran yang akan digunakan untuk melakukan upacara atau ritual tertentu. Selain Bangsa Yunani, Bangsa Romawi juga tercatat pernah menggunakan setrika, yang bentuknya sudah menyerupai setrika modern seperti sekarang. Setrika yang dinamakan prelum ini menggunakan teknik pressing (tekanan).

Ini berarti, sudah sejak lama orang sadar, jika menyetrika pakaian ini sebuah pekerjaan agung, untuk sebuah acara sakral, penuh kebesaran. Budaya ini lahir dari nurani, yang cenderung mencintai kerapihan dan keindahan. Dan itulah kemudian yang Islam ajarkan kemudian: kerapian, kebaikan, dan keindahan. 

Seseorang pernah datang kepada Nabi dengan rambut kusut, tidak tersisir rapi. Kemudian, Nabi menegur dan menyuruhnya pulang, dan ketika pria itu kembali dengan rambutnya yang rapi, Nabi memuji-mujinya. Dalam kesempatan lain, Nabi mengajarkan supaya merapikan halaman rumah, jangan seperti orang Yahudi pada saat itu, yang malas merapikan halaman rumahnya. Dari beberapa kisah itu kita bisa mengambil kiasan, bahwa Islam menganjurkan kerapihan, dan karena itu, menyetrika pakaian, bagian dari anjuran itu. Sayang nian, nash yang khusus membahas setrika, belum saya temukan.

Suatu ketika saat berjalan ke mesjid, hendak shalat Ashar, saya tundukkan padanngan. Tampak koko putih saya rapi bekas setrika. Tak ada kerutan. Bebas kerinting. Mata kemudian merayap ke bawah, ke sarung warna hujau muda, juga sama rapinya. Diam-diam saya rasakan bahagia, rasa bahagia yang mengingatkan saya kepada orang yang menyetrikanya, dan kemudian membawa saya kepada Siapa Yang memberi si penyetrika. Haha. Hemat kata, menyetrika pakaian ini bagian dari cara membahagiakan keluarga. Tak bisa memberi kebahagiaan dengan barang berharga, kiranya memberi kebahagiaan dengan pakaian rapi tersetrika, saya kira sama mulianya.

So, karena itu, bahagia dengan menyetrika, kenapa tidak? Jalanilah, namun satu pesan keras dari saya, jika sedang menyetrika telfon rumah bunyi, angkatlah telfon itu, jangan setrikanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar