Selasa, 31 Desember 2013

Kisah Seorang Petani

"Winarti Asih Juangsih  bin Haji Didin Ahmad Badrudin, baiklah, kulungsurkan permohonanmu untuk pisah dariku. Terimalah satu ucapan ceraiku, dan pulanglah ke rumahmu, namun suatu saat nanti, jika kamu kembali merindukanku, misal sebelum masa Idah, pintu rumahku selalu terbuka untukmu." Begitu ucapku, di depan pintu, di beranda depan rumahku, ketika Asih Juangsih istriku--sekarang mantan istriku--mulai memakai sandal,  mau berangkat pulang ke rumah bapaknya di Desa Kutukampret, bersama sekoper pakaiannya.

"Maaf, Kangmas tidak bisa mengantarmu ke sana. Domba belum diberi makan, dan sawah, hari ini harus dipupuk."

Tanpa sepatah kata pun, Asih Juangsih bin Haji Didin Ahmad Badrudin pergi.

Karena Haji Badrudin menjual pupuk, dan pupuk di warungnya paling murah, saya seringkali bolak-balik ke sana, dan tentu saja, selalu tanpa sengaja, Asih Juangsih, seringkali bertemu dengan saya.

"Rasanya bahagia lepas dari Kang Kardun, di rumah bapak sekarang, saya bebas dari menyabit rumput, bebas dari mikul rumput, bebas dari panas-panasan di sawah, bebas dari bau kotoran kambing." Itu dia ucapkan dari kursi dekat laci uang, sambil menghitung kembalian.

Saya tidak menjawab apa-apa. Hanya bisa mengucap terima kasih, dan mengusap dada. Mengucap ijab qabul, dan pulang. 25 kilogram pupuk, rasanya menjadi dua kali lipatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar