Senin, 06 Januari 2014

Tengah Malam, Tanganku Meraba-Raba


Di kampung ini, aku dipercaya menjadi imam, sekaligus setelah wirid maghrib, orang mempercayai saya memimpin kajian tafsir. Sayangnian aku miskin ilmu agama. Berburu ke padang datar, dapat rusa belang kaki. Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi. Pantun itu setidaknya menggambarkan kondisiku. Jika sudah ceramah, kata sering terbata, dan penerangan, seringlai berputar-putar, ceramah kurang mantap, yang akibatnya, hadirin menjadi ngantuk. Alih-alih terbanguan sebuah pengajian hidmat, yang ada justru malah resepsi ngantuk masal.

Untuk mengatasi itu, setiap sore, aku mewajibkan diri membuka Al-Qur'an, menelaah terjemahannya, sedikit tafsirnya, kemudian bergumam-gumam sendiri, berlatih ceramah.  Orang akan melihatku seperti orang gila, berbicara sendiri, namun apa peduli kata mereka. Imam Ali berkata: "Seorang yang tidak mau merasakan kehinaan mencari ilmu, akan merasakan kehinaan selamanya. Ya, kehinaan itu sekarang terasa, dan aku, tidak mau merasakan pada saat berikutnya. Aku takkan menyerah. Dengan kedua tangan terbuka, dan dada seluas-luasnya, kuterima tugas ini, akan terus kucari dan mencari, kulatih dan kulatih, sambil kupegang keyakinan, bahwa jika manusia mau berusaha, maka prinsip bertumbuh akan berlaku padanya. Suatu saat jika aku terus tekun, tidak mustahil, gelar pembicara hebat akan tersemat pada namaku.

"Udin Crocodin, si Lidah Api" wah, indah benar panggilan itu.

Maka seperti sudah biasa, jam empat sore, aku akan duduk di tengah rumah, mulai berlatih. Seperti sore ini, begitulah yang kulakukan. Namun baru juga dua tiga kalimat, ucapanku terhentikan derit pintu.

Seseorang masuk.

Istriku.

"Tolong bantu emakku. Dia sedang mengangkut pasari dari di halaman rumahnya."
"Pasir apa?"
"Pasir sisa pembangunan rumah dulu."
"Tanggung nih. Kalau tidak berlatih, bisa malu aku nanti."
"Kasihan emak kerja sendirian!"
"Ya, terus kamu tidak kasihan, jika nanti malam aku tergagap-gagap?"
"Tapi kasihan emakku."

Ya, daripada suasana kacau, aku mengalah. Memalukan memang mengalah kepada istri, namun bagaimana lagi, demi sebuah perdamaian, egois harus kutanggalkan. Sore itu, latihan ceramah pengajian tertunda.Kubuntuti istriku yang berjalan menuju mertua.

Tampak emak sibuk memasukkan pasir ke ember kecil, mengangkut, dan menumpahkannya ke sudut halaman. Aku membantunya. Jika tadi emak mengumpulkan dan mengangkut sekaligus, kini dia cukup memasukkan ke ember, kamudian aku yang mengangkutnya. Tampak binar kesenangan pada wajahnya, dan itu, entah mengapa, membuatku ketularan bahagia. Ada berbagai macam kebahagiaan di dunia, bahagia  mendapatkan uang, bahagia bertemu orang tersayang, namun kukira, dari semua kebahagiaan itu, kebahagiaan paling bermakna adalah, bahagia ketika berhasil memberikan rasa bahasia. Dengan kebaikan tentu saja.
 
Dan kukira, membahagian mertua bukan kecil nilainya. Masih ingat pesan kakek sewaktu bujangan dulu,  "Din, mertua itu sama mulianya dengan orang tuai. Hormat dan taat padanya, sama degan hormat dan taat pada orang tuamu. Jangan sepelekan itu!"

Angin pegunungan semilir. Matahari mulai tenggelam. Nyamuk malam, mulai berkeliaran. Beberapa kali aku menampar betis. Nyamuk pun terkapar tak berdaya. Emak menyuruhku segera cuci tangan, agar aku segera bersiap ke mesjid.

Cemas mulai kurasakan, saat pergi ke mesjid kepalaku masih kosong. Entah apa yang harus kusampaikan dalam pengajian nanti. Namun satu hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya, kali ini perjalananku diiringi rasa lega, sebuah kelegaan yang tak jelas sebabnya, dan pikiran cerah luar biasa.

Beres wirid, saat pengajian tiba. Aku duduk di depan mesjid. Al-Qur'an dalam pangkuanku.Para bapak, para kakek, dan beberapa orang remaja, telah siap dengan duduknya. Tak kubaca sendiri, ayat pertama kusuruh seorang remaja membacakannya. Lalu kepada remaja lain, kusuruh membaca artinya. Dan....

Masya Alloh, luar biasa, tidak tahu kenapa, saatnya menerangkan tiba, lisan ini begitu deras mengalirkan kata, lancar. Mengutip lagu Ebiet G.Ad, riuh mengalir bagai gerimis. Cerah pikiran seperti menerangi sebidang papan tulis, kemudian mata batin membaca papan itu, mengirimkan ke lisan berangkai-rangkai kata. Tak biasanya aku mampu ceramah selancar ini. Beban-beban jiwa pembuat gagap yang biasa kurasakan, entah kenapa malam ini tertanggalkan. Berganti kelurusan, kelancaran, yang membuat para hadirin, antusias mendengarkanku hingga tuntas.

Tengah malam aku terbangun, tangan kanan meraba-raba, maaf, bukan kepada istri, melainkan ke mejas kecil di samping ranjang, mencari buku den balpoin, lalu dalam remang suasana kamar, kutulis kata-kata, yang sejak tadi telah mengkristal di kepala: "Sepertinya ada beban-beban dalam jiwaku, yang jika aku membiarkannya, beban itu sangat mengganggu kelancaran bicaraku, namun saat ketika membuangnya, pikiran terangku akan terpancar--terpancar pada kejernihan kata-kata, dan satu cara terpraktis membuangnya, adalah dengan menolong orang lain, yang sangat membutuhkan kita."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar