Selasa, 28 Januari 2014

Bisakah Wiro Sableng Masuk Jajaran Novel Sastra?

Saya suruh orang lain banyak membaca, saya sendiri malas membaca. Kepada buku Wiro Sableng misalnya, ketika saya dorong orang membaca, saya sendiri, tidak membaca satu pun bukunya. Saya malah mendownload filmnya di youtube. Dan sungguh durjana, yang saya cari paling pertama film Wiro Sableng episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Mengapa saya langsung mencari episode itu?

Sebenarnya sangat rahasia. Tapi karena saya tahu Anda sangat peka, nanti malah Anda yang mempermalukan saya. Jadi, lebih baik saya katakan sejujurnya: Saya langsung membuka film itu, terus terang saja terdorong nafsu syahwat, karena saya kira, serial ini, akan menampilkan adegan seorang pandekar terkutuk sedang memetik bunga, alias sedang memetik bunga-bunga desa dengan cara merebutnya secara paksa.

Ternyata saya harus kecewa. Film Wiro Sableng bukan film tidak bermoral. Dan apa yang saya harap bisa saksikan ternyata tidak ada. Film Wiro Sableng dibuat untuk mendidik, supaya bisa menyerap penonton segala usia. Karenanya, tidak mungkin film ini akan menampilkan adegan tidak senonoh.

Ah yang barusan saya sebutkan hanya hiburan saja Kawan. Memang benar ada maksud ke sana, mengikuti keinginan syahwat, namun niat baik saya menonton film ini, ada juga kok. Sambil menonton film ini, ingin saya pungut juga pelajaran-pelajaran moralnya. Sebab bagaimana pun, film ini pasti mengandung muatan moral yang luar biasa. Mengapa saya bisa seyakin itu?

Ya, karena semua tahu film ini dibuat berdasarkan serial bunya. Film ini pada mulanya adalah novel, dan Bastian Tito, banyak menyelipkan nasihat dalam novelnya. Petatah-petitih bertaburan di sana-sini, kata-kata mutiara, kejadian-kejadian penuh hikmah, banyak betebaran dalam novelnya. Maka pastinya, filmua tidak akan jauh beda.

Benar saja saya menemukannya. Dalam sebuah adegan di lembah sebuah bukit, terdengar suara yang ditujukan kepada Pendekar Terkutuk:

Dua tahun dilepas pergi
Dua tahun turun gunung
Dua tahun berbuat keji
Dua tahun tak tahu diuntung

Lima tahun belajar percuma
Lima tahun dididik tiada guna
Kehancuran di mana-mana
Pembunuhan di mana-mana

Semau karena buta hati dan buta mata
Semua karena buta rasa
Percuma bagusnya gunung
Percuma tingginya gunung
Kalau meletus bencana di mana-mana

Anak manusia lupa daratan
Anak manusia melakukan kejahatan
Apakah selusin nyawa di badan?
Apakah ilmu setinggi awan?

Perhatikan, ungkapan ini sangat sastrawi. Terutama pada bait terakhirnya. Mengapa manusia sampai lupa daratan, mengapa manusia sampai berani berbuat kejahatan, setinggi apakah ilmunya, sebanyak apakah nyawanya?

Selama ini orang mengenal Wiro Sableng sebagai novel pop, kenyataannya, banyak sekali di dalamnya nilai sastra--di mana sastra adalah karangan yang baik isinya dan indah bahasanya--karena itu saya berkesimpulan, sebuah karya tidak disebut sastra, bukan karena karya itu tidak bernilai sastra, kemungkinan besar, karena tidak ada sastrawan yang mengusungnya sebagai sebuah karya sastra. Kalaulah ada saja misalnya, salah seorang sastrawan indonesia membedah novel Wiro Sableng dalam esainya, dan mengemukakan nilai-nilai sastranya, kemungkinan besar, buku ini akan terangkat harkatnya menjadi buku sastra. 

Dan memang, Bastian Tito menulis novelnya tidak sembarangan. Ketika saya bagikan tentang Wiro Sableng dalam komunitas menulis, seorang penggemar novel ini, bernama Ghoza Hayatullah HU, menulis dalam komentarnya: "Wiro Sableng merupakan novel favorit dan tetap akan menjadi novel nomor satu dalam jajaran novel favorit saya. Apalagi yang membuat serial Wiro Sableng sangat hebat. Penulis selalu melakukan riset di setiap serialnya. Tak jarang pula, penulis selalu datang langsung ke setting lokasi. Misalnya cerita yang berjudul Dendam di Puncak Singgalang. Penulis benar-benar langsung datang ke Sumbar dan bertanya pada penduduk setempat. Tentang kebudayaan yang ada. Selain itu, pesan moral yang disampaikan. Ilmu-ilmu filsafat tingkat tinggi yang membuat kita sedikit banyaknya paham akan kehidupan."

Nah, karena itu, bisakah Wiro Sableng masuk ke dalam jajaran Novel Sastra?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar