Sebulan, harus membayar 178 ribuan supaya bisa online. Untuk listriknya, harus membayar 2 ratus ribu lebih. Semua ini harus dibayar, juga komputernya, pasti punya kemampuan terbatas, yang suatu ketika, bisa saja mati tiba-tiba. Karena itu, kesempatan ini harus saya manfaatkan sebaik-baiknya.
Harus saya manfaatkan untuk apa?
Untuk memberi.
Memberi kepada sebanyak mungkin orang.
Memberi kebaikan sebanyak-banyaknya, karena itu, saya harus menulis sebanyak-banyaknya.
Semua ini terbatas. Ada akhir waktunya. Ada limitednya.
Tokoh yang akan saya angkat sehubungan dengan ini adalah Kartosuwirjo. Dia punya banyak kesempatan bagus dalam hidupnya, punya banyak hubungan dekat dengan beberapa tokoh penting, dan pernah mendapat kesempatan meneruskan sekolah ke perguruan tinggi. Tapi karena kurang bagus memanfaatkan peluang, semua keberuntungan yang dia dapatkan, tidak benar-benar menguntungkannya.
Dalam sebuah buku kecil berjudul "Kearifan Sang Guru Bangsa", disebutkan, ketidakberuntungan Kartosuwirjo disebabkan sikapnya yang temperamental dan mudah mengkritik. Akibatnya banyak orang tidak suka kepadanya.Dia pernah dipecat dari dua lembaga sekaligus. Pertama, dari sekolah kedokteran NIAS (Nederlandch Indiche Artsen School), padahal baru setahun ia mengikuti kuliah--setelah tiga tahun menempuh tingkat persiapan (Voor Breidende School) di situ. Kedua, dari Jong Islamieten Bond (JIB), tempat ia pernah jadi ketua cabang Surabaya.
Kongres PSI pada Desember 1927 di Pekalongan memilihnya menjadi pimpinan sekretaris umum di samping mengharuskan pimpinan partai menetap di Batavia. Waktu itu, umur Kartosuwirjo baru 20 tahun. Di Jakarta, ia bekerja di koran partai, Fadjar Asia, sebagai korektor, lalu reporter, redaktur, kemudian menjadi pemimpin redaksi. Masa itulah ia banyak bepergian, dan di Malangbong Garut pada April 1929 dia menemukan jodohnya, Siti Umi Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastra, tokoh Sarekat Islam setempat.
Karto terkenal dengan artikelnya yang tajam dan menyerang pemerintah kolonial. (Bandingkan, misalnya, dengan Dr. Soetomo yang tidak pernah memperlihatkan permusuhan dengan pemerintahan kolonial dan cenderung menerima budaya Jawa apa adanya). Tulisannya memberi perhatian kepada para petani kecil yang tanahnya disewa perusahaan Barat dan kapitalis pribumi, memprotes kenaikan pajak sawah hingga 90%, atau marah kepada "para kapitalis asing" yang mengusir para petani Lampung dari tanah mereka. "Orang-orang lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet belaka. Ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke batang pohon lainnya." Dia juga mencela orang-orang belanda perkebunan dengan perempuan-perepuan pribumi.
Saya menulis ini sambil terkantuk-kantuk, jadi mohon maaf tidak bisa terlalu lebar mengisahkan tokoh yang satu ini. Yang jelas, ceritanya dia melakukan gerakan pemberontakan terhadap NKRI. Saat itu suasana negeri ini cukup genting. Seringkali terjadi orang ditembak mati. Beberapa rumah masyarakat dibakar, ternaknya dirampas. Tidak tahu siapa sebenanya yang melakukan ini. Namun yang terjadi kemudian, rakyat Indonesia sama tahu, Kartosuwirjo kemudian ditangkap dan dihukum mati.
Semua orang diberikan kesempatan dalam hidupnya. Terserah dia mau digunakan untuk apa. Mau digunakan untuk menyebarkan kebaikan sebanyak-banyaknya, atau teror sebanyak-banyaknya. Hidup ini terbatas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar