"Sebenanya, apakah yang telah terjadi Aa?"
"Yang telah terjadi adalah apa yang kamu saksikan Riani?"
"Aku tidak tidak menyaksikan apapun Aa."
"Bukan matamu yang harus menyaksikan, pikiranmulah yang harus menyaksikan."
"Maafkan pikiranku Aa"
"Pikiranmu harusnya meraba"
"Ini hanyalah pikiran seorang wanita, yang selalu panjang, yang butuh putusan matang, karena wanitaAa, adalah pohon pisang, masanya hanya sekali, setelah berbuahi, dia harus tumbang. Menerima seorang pria bagi wanita, adalah keputusan terbesar dalam hidupnya, dalam keputusan itulah, tersimpan hidup matinya. Dan kini Aa, jalan hidup kuserahkan padamu, tidakkah hatimu tersentuh?"
"Jangan hanya memikirkan diri sendiri."
"Baiklah Aa, apakah yang terjadi padamu yang khilaf dari pikiranku."
"Kedatanganku dulu."
"Ya Aa"
"Padamu."
"Benar Aa."
"Tahukah kamu sebagai apa?"
"Seperti yang Aa kata, sebagai pemuda yang merindukan kehalalan cinta."
"Bukan hanya itu Riani, bahkan sebagai pengembara dahaga, tanpa air, tanpa roti, tanpa selimut, tanpa pakaian selembar pun. Jiwaku saat itu Riani, tidakkah hati wanitamu merabanya?"
"Tiada dayaku Aa."
"Jiwaku adalah papan terapung disungai, yang berusaha menepi, ingin mengeringkan diri, dan kamu melihatku, kunantikan uluran tanganmu mengambilku, mengeringkanku, namun kau malah diam, padahal kau tahu, apa nasib sebilah papan jika terlalu lama terendam. Membusuk!"
"Bagaimana hati pria bisa serapuh itu Aa?"
"Aku manusia."
"Baiklah, lalu bagaimana keputusan Aa saat itu akhirnya?"
"Kubiarkan diriku terbawa air."
"Ke mana air itu mengalir?"
"Mengikuti takdir"
"Takdir apakah yang kemudian terjadi?"
"Kematian"
"Lalu siapa ini?"
"Diriku yang sudah mati."
"Mati adalah kehilangan nyawa Aa, dan kuburanlah tempat tinggalnya."
"Jiwaku sudah terkubur."
"Tolong yang jelas Aa, Riani tidak mengerti!"
"Tidak perlu kau mengerti.!"
"Sangat perlu Aa."
"Tidak!"
"Aa.."
"Hapuslah!"
"Semakin nyata Aa!"
"Tiada yang nyata, semuanya maya!"
"Tidak semuanya"
"Bagiku semuanya."
"Ini nyata Aa, inilah Riani Aa, Riani yang selalu Aa antarkan kuliah betapa pun jauhnya, yang Aa ajak jalan-jalan, kehujanan, pulang malam tanpa takut tetangga berkata apa, karena begitu inginnya, Aa menunjukkan cinta, sekarang ini diriku, telah ada, telah ada untuk Aa, ini nyata, bukan lagi maya Aa!"
"Semua itu sudah kuhapus!"
"Nafasku sesak Aa, sudah terkunci rapatkah pintumu."
"Bahkan pintu itu sudah kubuang?"
"Artinya terbuka lebar?"
"Bukan, sudah kuganti dengan tembok!"
"Baiklah Aa, baiklah, Riani terima, jika memang itu adanya, apalah daya seorang wanita."
Tuntas.
Sampai di sana
Temanku tidak membalasnya
Sungguh drama. Aku tidak percaya, temanku sebegini kerasnya.
"Jadi rencanamu selanjutnya?" Tanyaku
"Kuserahkan pada Yang Punya rencana." Jawab temanku.
"Kamu bukan Jabbariyah, berusahalah!"
"Sudah. Aku sudah punya calon, itulah sebabnya Riani kusingkirkan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar