"Sekarang aku siap. Proposal yang Aa ajukan dulu, sudah kuterima." Begitu bunyi pesan yang datang ke handphone teman saya, dari wanita, yang dulu dia tanyakan kesiapannya menikah, setahun yang lalu.
"Terlalu ribuan mentari terbit, terlalu lebar kisaran masa, benihku telah mengering, semangat bercocok tanamku sudah hilang!" balas temanku.
Aku yang duduk di sampingnya, prihatin, mengapa dia membalas begitu. Dia sudah cukup umur, sudah saatnya menikah, dua gelar sarjana telah disandangnya, pekerjaan telah dimilikinya, penghasilan jangan ditanya.
Apalagi?
"Entah kenapa, yakinku padanya sudah pudar!" ucapnya.
Terdengar lagi pesan selulernya. Kubiarkan. Agak lama dia berbalas pesan.
Kuhabiskan waktu dengan posting blog
Nyaris satu jam, baru temanku bicara
"Ini, bacalah!"
Kubuka hapenya, bukan pesan ternyata, dia berbincang dengan fasilitas chat
Dimulai tulisan si wanita:
"Tanahku terpelihara, suatu saat datanglah?"
"Jangan, hidupkah saja tanahmu dengan benih lain!"
"Hanya ingin benih yang kau taburkan!"
"Kalau pun ada, mungkin bukan untuk tanahmu!"
"Tega sekali!"
"Apa yang terjadi?"
"Air mataku!"
"Apa salahku?"
"Detik ini Aa mengalirkannya."
"Berapa tetes?"
"Entahlah, telah pecah di jariku!"
"Bukankah aku memerdekakanmu?"
"Tapi belenggu besi pengikat leherku tak susah dibuka!"
"Aku yakin bisa dibuka"
"Ya, bisa, dengan api yang mungkin membunuhku."
"Jangan berlabihan Riani!"
"Begitulah nyatanya"
"Itu maya!"
"Nyata!"
"Bagaimana kamu yakin?"
"Kalau Aa lihat, layar hapeku kini sudah basah"
"Riani, kamu muda, dan sepanjang Aa sering datang ke rumahmu, bukan sekali dua kali bapak cerita, telah banyak pemuda datang ke sana. Dan sebagian besar mereka, masih menunggu jawaban."
"Dan jawabanku sekarang untuk Aa."
"Riani, andaisaja jawabanmu itu setahun yang lalu Riani!"
"Jangan mengandaikan masa lalu Aa....itu jalan masuknya setan. Dulu jawaban kutunda, sekedar mengumpulkan keyakinan saja Aa, dan sekarang keyakinan itu ada."
"Tapi seiring masa menundamu, keyakinanku merosot ke antiklimaksnya!"
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar