Sudah lama saya ingin membicarakan ini. Mengenai sabun yang habis karena disimpan di WC. Karena banyak mahasiswa yang numpang mandi, maka sabun itu cepat habis. Shampoo juga. Pasta gigi juga. Rasanya rugi sekali. Enak saja mereka memakainya, sama sekali mereka tak tahu, ini semua tuh dibeli dengan keuangan saya yang semakin menipis.
Kemudian saya meneliti diri sendiri. Perasaan apakah ini?
Saya jawab sendiri, ini semua perasaan pelit.
Kemudian saya mengingatkan diri sendiri kepada cita-cita saya kurang lebih dua tahun lalu, bahwa saya, ingin hidup dengan misi memberi. Saya, ingin menjadi seorang yang hidup hanya untuk memberi. Memberi kemanfaatan sebanyak-banyaknya kepada sebanyak mungkin orang. Nah, sekarang sabun saya dipakai orang, harusnya saya gembira, tanpa sengaja, apa yang saya cita-citakan terlaksana.
Dulu seringkali saya menyebut, jika kebiasaan memberi inilah sebenanya, modal seseorang menjadi kaya. Mungkin mata lahiriah melihat seseorang besar tokonya, atau banyak perusahaannya, atau luas lahan pertaniannya dan selalau menghasilkan, akan tetapi sebab gampang seseorang menjadi kaya dan mudah rejekinya adalah kebiasaannya suka memberi. Seharusnya saya seperti itu, tapi....
Eh, sekarang sabun dipakai orang saja pake merasa sayang, harusnya saya bahagia.
Akhhir surat Al-Ma'un menyebutkan, jika salah satu ciri orang yang mendustakan agama adalah orang yang tidak mau memberi dengan barang yang berguna. Ketika saya merasa sayang barang saya digunakan orang lain padahal mereka sangat butuh, masya Alloh, ampun, masa saya harus menjadi seorang pendusta agama. Ngeri juga sebutannya.
Namun ketika saya menengok ke orang lain, ternyata banyak juga orang yang enggan memberi dengan barang yang berguna. Ada seseorang, halaman rumahnya luas, kemudian supaya dekat, orang-orang berjalan lewat sana. Nah, seringkali si tuan rumah tak rela. Dia tidak ingin halaman rumahnya dipakai tempat lewat orang. Alasannya, tanah menjadi keras dan gersang. Maka dipagarlah halaman rumahnya, yang membuat orang-orang, yang semula berjalan cukup singkat ke depan rumahnya, kini harus berkeliling dulu ke jalan yang jauh.
Ketika saya melihat orang semacam itu, hati saya berkata, betapa pelitnya. Mengapa enggan sekali memberi dengan barang yang berguna? Namun sekarang, kata-kata itu saya kembalikan kepada saya, mengapa saya tidak mau memberi dengan barang yang berguna. Harusnya saya gembira. Inilah ibadah saya. Tidak bisa melakukan ibadah-badah besar, inilah ibadah kecil-kecilan saya. Ibadah orang biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar