Senin, 03 Februari 2014

Joko Pinurbo

Pertama kali saya menemukan bukunya di perpustakaan kabupaten. Pernah sebentar membuka-buka bukunya, menarik juga dan cukup menggoda perhatian buat membaca. Dan sekarang, saya ingin mengenalnya lagi, sekalian memperkenalkan dia kepada Anda.

Publik nasional mengenalnya sebagai penyair. Dia sebangsa dengan saya, sama-sama Bangsa Sunda. Lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Karya-karya puisinya merupakan campuran antara naratif, ironi, dan refleksi diri.

Joko merupakan jebolan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Pernah menjadi direktur Basis, Gatra, dan Sandhar terbitan Ikip Sanata Dharma, mengajar di almamaternya, dan terakhir bekerja di PT Grasindo cabang Yogyakarta.

Rajin membaca puisi sejak remaja, namun baru menulis ketika usinya mendekati 30 tahun. Puisinya kerap mencampuradukkan realitas dengan impian, hikmat dan unsur-unsur komik, si angkuh dan si pejalan kaki, yang semua itu bisa ditemukan dalam satu baris dan bisa diucapkan dalam satu hembusan nafas. Citra reliji dapat tampil berdampingan dengan komentar-komentar berbau sosial politik pun percakapan yang intim.

Ini salah satu puisinya yang bisa Anda nikmati:

TERKENANG CELANA PAK GURU

Masih pagi sekali, bapak guru sudah siap di kelas
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk
Kemudian terkulai di atas meja
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal beriringan masuk
Sambil mengucapkan: "Selamat pagi Bapak Guru!"
Bapak guru tambah nyenyak, dengkur dan air liurnya
seakan mau mengatakan: "Bapak sangat lelah."

Hari itu mestinya pelajaran sejarah. Bapak guru telah berjanji
Menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya
Kami baca di papan tulis: "Baca halaman 10 dan seterusnya.
hafalkan semua nama dan peristiwa."

Sudah siang bapak guru belum juga siuman
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
Seakan mau mengatakan: "Bapak habis lembur semalam."
Ada yang cekikikan, ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: "Kasihan kepala yang suka ikut penataran ini"

Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami.
Kami lihat seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan
"Silahkan!" katanya.
"Dia Pak Guru kita itu," Temanku berseru.
"Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?"
"Tenang, jangan mengusik ketenteramannya!"
aku memperingatkan.

"Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang," kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
"Kelak, aku juga ingin dikubur di sini," sambungnya.
"Ah jangan berpikir yang bukan-bukan," timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kamboja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar