Kamis, 27 Februari 2014

Rendah Hati Itu Menyenangkan, Meski Hanya Berpura-Pura

Jangankan bersungguh-sungguh, dengan berpura-pura saja, rendah hati terasa menyenangkan membuat saya aman.

Daripada saya menyombongkan diri dengan menyebutkan kehebatan diri dan melecehkan orang lain, lebih enak rasanya menghinakan diri sendiri sambil menyebut kelebihan orang lain meskipun pura-pura.
Dengan meninggilan diri dan melecehkan orang lain, biasanya darah  bergolak, apalagi jika orang lain itu balik menyombongkan kelebihan dirinya dan melecehkan saya, darah bergolak seperti berubah menjadi bensin. Tinggal lempar korek api, maka korek api itu langsung basa oleh bensi, dan jika sekali lagi dilempar korek api yang sudah dinyalakan, maka api akan berkobar dahsyat.


Padahal sebenarnya hanya pura-pura. Sebenarnya dalam hati saya ingin tertawa, misalnya kepada orang yang mencoba berlagak so tahu, kemudian mendebat saya, menyatakan ketidaksetujuannya kepadan saya kemudian menyebutkan dalil-dalil yang menurut saya konyol dan salah, sebenarnya saya ingin merendahkannya, tetapi karena malu pada diri sendiri telah berjanji takkan lagi mau berdebat, maka saya lebih suka menyanjungnya saja. "Wah, saya orang bodoh, mas kok pintar sekali ya!", "Wah kalimat-kalimatnya menarik sekali, saya suka, saya beruntung ketemu Anda, saya ingin berguru kepada Anda." dan sebagainya.

Atau contoh nyatanya pagi ini, pagi saat saya menyusun tulisan ini, saya buka kembali facebook, dan menemukan tulisan saya yang membahas tentang sisi menarik karya Jalaluddin Rakhmat. Membaca komentar-komentarnya, saya sangat tertarik. Banyak yang membantah, bahkan ada yang sangat semangat membantah dengan komentar yang panjang. Menurut mereka tidak seharusnya membaca buku-buku Jalaluddin Rakhmat, apalagi menikmati uraian-uraian ceramahnya, karena dia seorang syi'ah. Ada yang memberikan komentar panjang dengan bahasan ke sana ke mari, kepada ghazwul fikri, dan mengatakan karya Jalaluddin Rahmat itu sebagai bagian dari Ghazwul Fikri yang bisa merusak pemikiran kita jika karyanya kita dengarkan dan kita baca, kemudian dengan sangat gagah, tapi membuat saya tersenyum, di bagian akhir komentarnya dia menulis: "Ya Alloh, hamba-Mu telah menyampaikan kebenaran. Saksikanlah!"

Yang lainnya menulis komentar tidak seharusnya menimba ilmu kepada orang seperti Jalaluddin Rahmat, dia sudah tercampuri pemikiran sesat, karena itu, ilmunya, bisa diibaratkan dengan air yang keruh. Kemudian teman ini pun menulis: "Menurut saya, lebih enak memancing di air jernih daripada di air keruh apalagi di air comberan.", bahkan tidak puas hanya satu komentar, di bagian bawahnya dia pun menulis lagi dengan nada menggurui: "Makananan yang baik hanya akan diterima oleh tubuh yang sehat. Jika makanan itu tidak baik, maka tubuh yang sehat akan memuntahkannya." Dengan ungkapan itu, dia mau mengatakan, bahwa orang yang suka dengan karya Jalaluddin Rahmat yang "sesat" itu adalah orang yang jiwanya tidak sehat, dan karena saya menyukainya, berarti saya tidak sehat.

Bagaimana cara saya menanggapi komentar-komentar itu?. Cari aman saja. Kepada mereka saya pura-pura merendah dengan cara menyanjungnya. Kata saya: "Panjangnya komen Anda mas menandakan ketinggian ilmunya. Jika direkam dan dikasetkan, wah alangkah besar manfaatnya mas."

Padahal sebenarnya saya hanya pura-pura, tapi efeknya, terasa bahagia. Orang itu tidak balas mencaci-maki, dan suasana menjadi menyenangkan. Setidaknya menyenangkan menurut saya, karena bisa nonton berbagai pertunjukan menarik. Yang tidak mikir malah bahagia menyangka saya memujinya, sebaliknya yang agak mikir, seringkali kebingungan, dan yang cerdas dan tahu maksud melecehkan di balik kata-kata saya balik pura-pura menyanjung. Bagaimana kalau saya disanjung? Ya tentu saja saya bahagia, meski sanjungan itu hanya pura-pura.

Demikianlah indahnya rendah hati. Dengan pura-pura saja terasa menyenangkan, bagaimana jika rendah hati itusungguhan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar