Imajinasi, itulah yang dipasang seorang penulis fiksi saat melakukan aksinya. Imajinasi ini bermain, menciptakan dunianya sendiri, setignya sendiri, waktunya sendiri, tempatnya sendiri. Dan seseorang, beraksi dengan bebas di dalamnya. Dia buat tokoh-tokoh sekehendaknya, dengan karakter sekehendaknya, untuk berbuat sekehendaknya sesuai keinginan si penulis yang berimajinasi. Merdeka sekali, menyenangkan sekali. Dengan alasan inilah saya ingin berkata: Menulis membuatmu merdeka. Menulis fiksi tentu saja.
Dan Bastian Tito, tampaknya sudah sangat ahli dalam melakukan ini. Sejak Wiro Sableng pertamanya, hingga puluhan, hingga ratusan, yang dia mainkan adalah imajinasi. Meski tempat dan beberapa nama kerajaan dia usahakan sesuai dengan fakta geografi dan sejarah, namun jalan cerita dan tokoh yang diciptakannya murni imajinasi dia sendiri. Tokoh-tokoh itu dia hidupkan, dia mainkan, dia tarungkan, dia berikan nasib pada masing masing, layaknya seorang dalang memperlakukan para wayang yang dimainkannya.
Menurut saya ini luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya. Hanya orang-orang tertentu diberi kemudahan melakukan ini. Mengekspresikan imajinasi untuk menciptakan sebuah dunia utuh dalam cerita rekaan ciptaan itu bukan perkara mudah. Stphany Mayer dengan Serial Twilightnya, JK. Rowling dengan Harry Potternya, atau Dan Brown dengan tokoh Robert Langdonnya, adalah sebagian dari orang-orang yang mempunyai bakat itu.
Bastian Tito, dalam serial Wiro Sablengnya kali ini, menceritakan kisah "Setan Dari Luar Jagad". Ini kisah hasil imajinasinya. Mangkuk-mangkuk nasib telah disiapkannya untuk setiap tokoh kisah yang dia buat. nah yang jadi pertanyaan, bagaimana nasib Wiro Sableng dalam kisah ini? Setan macam apakah yang dia ceritakan? Dari luar jagad mana yang dia maksud? Apa yang setan itu lakukan?
Jika Anda mau membaca, saya akan menuliskan sebagian kisahnya:
"Wiro, kebetulan aku kasihan kepadamu. Terus terang aku tak yakin kau akan kembali ke bukit ini. Lalu buat apa aku menunggu mayat yang tidak bakal datang?"
Wiro pencongkan mulutnya dan garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata si kakek.
"Kalau begitu kau boleh pergi sekarang," kata Wiro pula lalu turun dari kudanya, lalu menyerahkan tali kekang pada kakek poniran.
"Aku tetap berdoa untuk keselamatanmu."
Wiro tersenyum. Sesaat setelah kakek dan dua ekor kuda itu lenyap dari pandangannya, pendekar 212 balikkan tubuh, dengan gerakan enteng, setengah berlari dia melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit Wadaslintang. Sambil berlari, sesekali Wiro menggenggam hulu kapak naga geni 212 yang terselip di pinggangnya....
Pembaca sekalian, saya rasa, saya akan kelelahan jika harus menuliskan semuanya. Lebih baik, jika Anda mau, buka dan download saja sendiri bukunya DI SINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar