Kalau menulis sudah jadi hiburan, tidak menulis jadi kesepian. Ketika menulis sama dengan menyanyi, menyanyi sendiri, dengan nada-nada yang nikmat didengar sendiri, maka ketika itulah, menulis akan menjadi kecanduan. Bagi Bastian Tito, tampaknya menulis sudah begitu. Saya baca kisah Wiro Sableng karyanya, mengikutinya bagai mengikuti aliran lengking biola. Mengalun, turun naik, ritmik, keras, melembut, lembut, lembut sekali, melayang datar, naik lagi, naik naik, melesat, melambung, terus, terus, terus.......itulah yang saya rasakan saat membaca kisahnya kali ini, Memburu Si Penjagal Mayat.
"Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung terdengar di kejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara siulan yang akan terasa aneh bagi siapa pun yang mendengarnya. Aneh karena suara siulan itu keras sekali seperti bukan siulan manusia. Lalu lagu dan siulan itu sama sekali tidak sedap didengar karena kacau balau naik turun tinggi rendah tidak menentu. Siapa gerangan orang yang bersiul ini?
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih lusuh. Kepalanya yang berambut hitam gondrong diikat sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu tanda di bawah pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata, entah golok, entah keris, atau pun pisau besar. Di tangan kanannya dia memegang sepotong ranting kayu yang dipergunakannya untuk menguak semak belukar atau rerantingan yang menghalangi langkahnya. Ketika angin bertiup lagi dan baju di bagian dada si pemuda tersingkap, terlihatlah tiga deratan angka yang dirajah pada dadanya....."
Pastinya Anda ingin menikmati lebih banyak aliran kalima magis nan menghanyutkan itu. Mohon maaf saya tisak bisa menyajikanya lebih banyak. Lebih baik, baca sendiri saja novelnya yang sudah saya sediakan untuk Anda DI SINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar