Jumat, 14 Februari 2014

Wiro Sableng: Manusia Halilintar

Hujan tambah lebat. Kejar mengejar itu semakin seru. Raih Jenar lari ke daerah persawahan di kaki bukit. Sepasang kakinya laksana terbang berlari di atas pematang sawah yang licin. Tiba-tiba untuk kesekian kalinya halilintar menyambar. Sekejapan daerah persawahan itu terang benderang menggidikkan. Kilauan kilat yang menyambar dari langit menghunjam ke bumi jatuh tepat di persawahan menghantam sosok tubuh Raih Jenar yang sedang lari. Suara jeritan orang ini tenggelam ditelan suara gelegar geledek. Tubuhnya terkapar di pematang sawah.

Hangus gosong kehilaman! Kebo Hijo yang berada lima belas langkah di belakang Raih Jenar yang malang itu merasakan ada getaran keras ketika kilat menyambar. Tubuhnya terpental oleh dorongan satu kekuatan dahsyat. Dadanya mendenyut sakit. Dalam keadaan terduduk di pematang sawah untuk beberapa lama dia tak mampu berbuat apa-apa. Wajahnya pucat dan sepasang matanya melotot memandang ke arah sosok tubuh Raih Jenar.

"Matikah si keparat itu?" Kebo Hijo bertanya pada diri sendiri. Lalu dia ingat pada kotak batu itu. Seolah-olah mendapat satu kekuatan, Kebo Hijo mampu bangkit dan melangkah bergegas mendekati tubuh Raih Jenar yang telah jadi mayat hangus hitam. Air hujan yang jatuh menimpa tubuh seperti dipanggang dan melepuh panas itu menimbulkan kepulan asap menebar bau daging matang terbakar. Merinding bulu tengkuk Kebo Hijo. Dia menunggu sampai kepulan asap lenyap dari tubuh mayat. Kemudian dengan ujung kakinya dibalikkannya tubuh Raih Jenar hingga terlentang.

Ikuti terusannya DI SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar