Selasa, 11 Februari 2014

Setelah Sebulan Berlalu

Tepi ranjang menjadi tempatku duduk diam merasakan kebingungan saat dengan istriku berkata kepadaku: "Diam di kampung mau menghasilkan apa? Orang lain berangkat ke kota, mencari kerja, mencari uang, biar hidup kita ada peningkatan."

Kujawab: "Aku mau di kampung saja, apa pun akan kukerjakan asal menghasilkan, asal tetap di sini, tenteram di rumah ini, dekat denganmu, menikmati kebersamaan denganmu...."

Mendengar itu, istri mengancam: "Kalau kamu tidak mau berangkat kerja, aku yang akan berangkat ke kota!"

Rasanya bulan di langit seketika jatuh, menerobos atap rumahku, hendak menimpaku, ketika mendengar itu. Bulan hilang keindahan, bulan menyesakkan, bulan kebingungan, satu bulatan bulan yang bukannya membuatku melihatnya indah, namun malah membuatku bingung, berputar-putar pada lingkarannya yang tak berujung. Bulan telah menjadi lain, terangnya sudah tidak bersahabat lagi denganku. Aku tersesat dalam lingkar pikiran yang serba salah. Berangkat kerja tak mau harus jauh dari istriku, diam di rumah, tak mungkin istriku mengancam dialah yang akan berangkat kerja.

Aku tak mau jika langit terlalu lama kehilangan birunya, jika sore kelabu, kemudian malam hitam kelam, maka pagi haruslah dia biru kembali. Air kutakmau kehilangan jernihnya, mungkin saja sesejali keruh karena lumpur sawah, namun satu hari berlalu, air itu harus kembali jernih. Begitulah inginnya aku bersama keluargaku, yaitu istriku, kehidupan rumah tanggaku, mungkin saja selama kerja harus kurasakan kehampaan dan kedinginan karena jauh darinya, namun jangan itu terlalu lama, aku harus dekat pulang ke sana, biar segera menemuinya, biar langit kembali bersama birunya, biar air kembali bersama jernihnya.
 
Keesokan harinya aku ke gubuk sawah, menemui bapak mertua di sana, barangkali saja, jika kuadukan padanya, bahwa aku siap menolongnya mengurus sawahnya, membersihkan kebunnnya, dia memberiku kasih sayang, membelaku, dan mempertahankanku tinggal di kampung, bekerja bersamanya. Maka kukatakan kepada mertuaku, aku ingin bertani, dengan tekun, dengan khusyuk, sesuai dengan ilmu-ilmu, yang seringkali kubaca dulu, dari koran-koran dari buku-buku. Dan mendengar itu bapak mertuaku bahagia, mengiyakan keinginanku, dan mengungkapkan kegembiraanya, kemudian mengisahkan secara singkat bagaimana bahagianya dia bertani selama ini. Tidak ada tekanan jiwa, tidak ada hutang menganga, yang ada hanyalah kebahagiaan dan kelegaan dari hari ke hari, karena kaki selalu sejuk terbenam ke dalam lumpur, karena pemandangan selalu hijau dari dedaunan, apalagi jika tanaman itu sudah mengerluarkan pucuk, aduh, itu kebahagiaan memandangnya sungguh tidak terlukiskan.

Dan aku berbesar hati. Dan aku berjanji akan di sini, betah di sawah ini, bersama dengan mertuaku, aku akan khusyuk bertani. Akrab bersama belalang, tersenyum bersama capung, bernafas bersama katak, dan berkedip bersama pipit. Andai saja istriku sungkan aku pulang ke rumah, biarlah aku di sawah, bermalam di gubuk sawah, tidur bersama nyamuk, mendengkur bersama jangkrik. Kukira ini lebih baik, setidaknya masih dekat dengan istriku, bisa menemuinya dengan langkah-langkah, daripada aku harus ke ibu kota kemudian ratusan kilometer menjauhkan kami berdua.

Maka parang pun kupegang dengan cinta ketika bapak mertua menyuruhku membersihkan pematang, karena sebentar lagi sawah akan dicangkul, digemburkan, dan ditanam. Cerahlah pikiranku, dinginlah otakku, kegelisahan semalam hilang seketika, saat tapak demi tapak kakiku membekas di tanah dengan jumlah yang semakin bertambah seiring bertambahnya langkahku.  Aku berjalan dengan menunduk khusyuk, dengan hati-hati namun kemudian terhenti saat kulihat sepasang kaki lain ada di depanku.

Kuangkat muka.

Oh, ibu mertua. Maka parang segera kusimpan ke tepi sawah, kemudian mencoba merebut jinjingan ember dari tangan ibu mertua hendak membantu membawakannya ke gubuk sawah. Namun dia tak mau. Wajahnya datar, air mukanya kaku. Tak ada ramah di sana, senyumnya entah ke mana. Ucapnya pun hanya sekata. Akhirnya aku hanya bisa berjalan di belakangnya, mengantarnya ke gubuk. Bukan apa-apa, aku ingin juga tahu maksudku, menerimaku di sini, bekerja bersamanya, membantunya, dan tidak mendesasakku pergi kerja ke kota. Maka kusampaikan pada ibu mertuaku segala yang tadi kusampaikan kepada bapak mertua.

Namun jawaban yang kudapatkan seratus delapan puluh derajat berbeda. Senada dengan istriku, ibu mertua menginginkan kepergianku. Mungkin keduanya telah bicara, untuk satu kata, sepakat bersama. Aku hanya bisa menunduk duduk bersandar ke tiang gubuk merenungi tanah yang bubuk, ketika ibu mertua berkata dengan dinginnya: "Orang lain, suami lain, para pria lain di kampung ini, yang muda-muda berangkat ke kota. Mereka bekerja, sebab di sana lebih besar penghasilannya."

"Tapi aku masih bingung harus kerja apa."

"Cari saja! Berusaha! Karena orang itu harus berusaha!"

Mendengar itu, bapak mertua yang sedang mengasah mata cangkul melepaskan cangkul dari tanganya, dia berdiri, lalu menggelegarlah kemarahannya, mendamprat ibu mertua: "Orang tua macam apa kamu......" dan segala sumpah serapah lain yang sungkan kuungkapkan, sebab aku pun segera menghentikannya, dengan mengambil tangan Pak Mertua, menciuminya, dan mengatakan kepadanya: "Sudahlah Pak, sudahlah Pak, Rido Bapak sama dengan rido orang tuaku sendiri. Ridokan saja aku berangkat ke kota, Ridokanlah Pak, doakanlah Pak. Aku yakin, keridoan bapak dan ibu mertua akan menjadi ruh keduaku yang membersamaiku, merayu hati siapa pun di sana hingga mau memberiku lapangan usaha.

Kepada mereka berdua aku pamit, pulang ke rumah untuk mempersiapkan segalanya. Dan setelah sekantung gemuk pakaian tergeletak di sampingku, aku berjalan mendekati istriku, memeluknya erat-erat meski dia sendiri diam dan dingin. Kuucapkan salam padanya meski tahu pasti takkan dijawab, dan begitulah kenyataannya. Itu kulakukan karena aku menyayanginya. Dan aku menyayanginya bukan karena dia cantik--dia pesek pendek, dan berkulit black--aku menyayanginya hanya karena dari semilyar wanita di dunia ini, hanya dia yang dipercayakan Tuhan kepadaku dalam hidupku.

Kini sepatu bututku terinjak di trotoar, kepayahan menyanggaku yang sedah menatap nanar, melihat ibu kota yang kasar. Di sini, mau apa aku di sini, hanya berbekal ijazah SMA, tiada yang bisa kuharapkanselain pertolongan dari-Nya. Harapan yang membesar karena serangkai doa dari ibu kandungku, tadi, saat kusempatkan menemui mereka ke kampungnya. Bersama tetesan air mata, ibu meyakinkanku, bahwa setiap yang mencari akan menemukan yang dicarinya, bahwa setiap pengetuk pintu akan dibukakann pintu untuknya, bahwa setiap peminta akan diberikan apa yang dimintanya. Dia telah mengijinkanmu hidup, mana mungkin Dia menghidupkanmu untuk menganiyayamu. Titipkanlah dirimu kepada-Nya, dan menjeritlah yang keras sejadi-jadinya dalam batinmu, pada setiap sujudmu, pada semua doamu....

Kutawarkan diriku dari toko ke toko, dari kios ke kios, dari pabrik ke pabrik, dan karena aku rajin menulis, kucatat semua warna penolakan mereka pada buku tebal lusuh yang terus kubawa. Hingga hari ke tiga, telah ada seratus tiga belas orang menolakku, dan ini pagi hari ke-empat, aku telah siap degan penolakan ke seratus empat belas dan seterusnya. Namun tidak, sebuah rental komputer yang kudatangi, menanyakan kepadaku, apakah aku bisa mengetik?

"Bisa" jawabku.
"Kebetulah di sini sedang butuh staf! Tapi, apa kamu punya sertfikat kursus komputer?"
"Oh, tidak Pak!"
"Emh, tak masalah. Ku-tes saja ya!"
Kuikuti suruhannya, dan aku mulai mengetik teks yang diberikannya.
"Emh, cepat juga jarimu! Pernah kerja di mana?"
"Tidak Pak, dulu waktu SMA, kepala sekolah sering menyuruh saya membantu mengetik proposalnya!"
"Oh ya ya, mana ijazah SMA-mu......"

Pembaca! Bisakah Anda bayangkan bagaimana gembiranya aku saat itu. Lebih dari yang Anda bayangkan, karena ternyata tuan pemilik rental pengetikan ini, selain dia tulus menerimaku kerja, dia pun seorang muslim saleh yang sangat murah hati. Kepada semua karyawannya dia menganggap keluarga, memberikan kesejahteraan yang layak, menyayangi mereka, mencukupi makanan, dan memberikan tempat tinggal berupa satu kamar nyaman untuk setiap karyawan, dan tentu saja termasuk aku.

Betah sekali kerja di sana. Tiga empat hari kuraskan rindu berat pada istriku, namun hari berikutnya, karena kesibukan kerja, dari pagi sampai sore tugas terus mengetik, kemudian malamnya kelelahan dan tidur nyenyak, tidak terasa sebulan berlal. Baru tersadar kepada pulang, setelah atasanku memberi nasihat, saat memberikan amplop gaji pertamaku: "Kamu harus pulang dulu, kamu punya keluarga di sana, temui istrimu barang satu dua hari, aku paham kamu sangat kangen padanya. Itu gajimu tabungkan saja, untuk masa depanmu dan istrimu, sedangkan untuk istrimu sehari-hari, ini khusus untukmu, karena kesungguhan kerjamu dan karena kamu mau mengajar ngaji anak-anakku dimalam hari." 

"Pak, jangan upahi aku karena mengajar mengaji! Aku menyayangi anak Bapak karena aku senang melihat mereka gendut-gendut, cerdas-cerdas, dan lucu-lucu. Aku tulus pak, aku tidak mau!"

"Baiklah, ini bukan upah untuk itu, ini sedekah dariku, untukmu, berikanlah pada istrimu!"

Setelah obrolan itu, seketika kerinduan kepada istriku menggebu. Tidak pudar sedikit pun rasa sayangku--Besar sayangku padanya saat awal-awal menikah dulu, lebih besar rasa sayangku hari ini rasanya. Aku ingin segera menemuinya, memeluknya, memberikan uang hasil kerjaku kepadanya dan melihat senyumannya. Sungguh wajar dan bukan materialistis menurutku jika seorang istri tersenyum hanya pada saat-saat suaminya memberikan uang, karena memang memberi uang kepada istri sudah jadi kewajiban semua pria yang berani berkeluarga. 

Sayang sekali aku tidak punya handphone, dan tidak tahu cara menggunakannya, begitu pula istriku yang orang kampung nyaris pedalaman, jadi aku tidak bisa mengontaknya bahwa aku akan segera pulang. Aku hanya bisa mengontak bayangannya dalam pikiranku sendiri, untuk hadir di hatiku, di sepanjang perjalananku dalam angkot menuju terminal.

Sebelum naik bus, kusempatkan membeli makanan kesukaannya, martabak isi kacang, dan ketika setelah naik bus ada orang menawarkan tahu, aku membelinya sekeranjang, sebab ingat, tumis tahu buatan istriku sangat enak. Akan kuambil cuti dua hari, akan kupuaskan kerinduanku bersama istri, di sana, di rumah, rumahku yang paling nyaman di dunia, istriku wanita tercantik di dunia.

Cukup lama juga perjalanan dari ibu kota. Berangkat jam delapan pagi, kini aku tiba jam empat sore. Tidak lewat halaman, aku berjalan lewat belakang, supaya langsung ke dapur, namun di pintu, ucapan salamku terjawab sepi. Kudorong pintu, terkunci. Kutengok kaca, tirainya menutup. Kudorong pintu depan, sama terkunci. Seorang tetangga yang melihatku, mendekatiku, menyalamiku, dan dengan wajah kaku sambil memeriksa air mukaku, dia katakan, kunci ada di rumah mertua.

"Lalu ke mana istriku?"

Dan tidak pernah satu kisah pun, baik yang kubaca mau pun yang kudengar, yang lebih membuat kesedihanku mengganggu dalam masa yang lama, selain kisah yang kudengar dari tetanggaku saat itu. Istriku meninggal dunia dipatuk ular berbisa. 

Aku tak tahu, apakah kelaki-lakianku hilang saat itu. Karena sepanjang berjalan menuju rumah mertua, mengetuk pintunya, mencium tangan mereka, mengambil kunci, menuju rumah, masuk kamar, tak henti-hentinya isak tangis susah kutahan. Badanku terus terguncang-guncang, saat duduk di tepi ranjang, tepi ranjang tepat tempat dudukku dulu, saat berbincang penuh kebingungan bersama istriku, sebulan lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar