Dari dulu, seingat saya, jarang penulis menovelkan kisah hidup Buya Hamka. Padahal popularitas ulama pujangga ini cukup besar di kalangan pembaca tanah air. Kisah hidupnya unik, perjalanannya mencari ilmu cukup menarik, tulisan-tulisannya menggugah, dan novel-novelnya, menyentuh hati banyak orang. Namun sekali lagi, anehnya, jarang penulis menovelkan Buya Hamka.
Yang muncul belakangan, malah novel-novel tokoh-tokoh lainnya. Terakhir yang saya tahu adalah novel Sang Pencerah hasil adaptasi dari skenario film Sang Pencerah, tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan. Atau hehe, novel-novel tokoh yang sedang berusaha diangkat popularitasnya, yang mungkin dengan tujuan, supaya memenangkan pemilihan presiden nanti.
Akan tetapi sekarang, saya tahu, ternyata ada. Muncul sebuah buku menarik tentan Buya Hamka. Kurang tepat seperti jika dikatakan novel, sebab penulis berusaha menyajikan sesuai realita aslinya. Uniknya, penulis tidak memulai kisah Hamka, dari semenjak kecilnya, pada halaman-halaman awal buku, penulis langsung mengisahkan saat Hamka memimpin shalat jenazah Presiden Pertama RI, Bung Karno, seorang yang pernah memenjarakannya karena menganggap Hamka pengkhianat bangsa.
.
Setelah itu, barulah kisah mengalir mulai dari masa kecil Hamka. Masa kecilnya terkenal bandel, jika nangis dia sampai meraung-raung, namun bisa berhenti seketika jika melihat Danau Maninjau, danau yang sangat terkenal di Sumatra Barat saat itu. Tidak heran, jika dia paling senang menghabiskan waktu di sana.
Oh ya, saya lupa menyebutkan, penulis buku ini Akmal Nasery Basral.
Ayahnya, Haji Rasul sering memberinya hukuman fisik karena Hamka sering main ke danau itu. Menurut ayahnya, kebiasaan Hamka itu sia-sia. Menurutnya, seharusnya seorang anak banyak belajar daripada main-main. Hamka cukup kritis pada ayahnya, dan kurang suka dengan kebiasaan ayahnya kawin-cerai.
Maka Hamka memutuskan hengkang dari rumahnya, melakukan pengembaraan. Tidak kabur tanpa memberitahu, Hamka pamit tentu saja, untuk mengikuti kakak iparnya.
Buku ini menceritakan satu kenyataan Hamka, bahwa sebagai orang muda, diapun butuh hiburan. Semenjak dia tinggal di Padangpanjang hingga ketika dia di Medan, sebagai penulis surat kabar, kerapkali mendatangi Bioskop untuk melihat film terbaru.
Hamka remaja nekad berhaji, berangkat ke Tanah Suci mengandalkan bekal seadanya, kemudian menuntut ilmu di sana. Cukup banyak ulama menyayangi Hamka di Kota Mekah, karen semangat belajarnya, namun Hamka, lebih memilih pulang dan berkiprah di Tanah Airnya.
Republika Online, menyebutkan judul novel ini terkesan lebai, Tadarus Cinta Buya Pujangga, namun Ari Ginanjar Agustian memuji-muji novel ini sebagai novel yang memberiken konstribusi untuk pendidikan karakter bangsa dan sarat akan nilai-nilai spiritual di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar