Sebagian orang berpendapat, kemarahan seharusnya diekspesikan. Jika benci kepada seseorang, sampaikan kebencian itu, kalau perlu caci-makilah dia, sumpah serapahi, dengan cara itu, maka kamu, takkan lagi menyembunuyikan perasaan negatif dalam diri kamu, semuanya telah keluar, telah terekspresikan, dan kamu, legaaaaa........sebaliknya, jika kemarahan itu kamu pendam, dan kamu diam saja, gunungan rasa marah itu bisa menimbulkan penyakit.
Cara berpikir yang keliru. Cara berpikir seperti inilah, yang membuat sebuah rumah tangga kacau, suasana kerja tak nyaman, hubungan bos karyawan ruwet, saling menghujat di twitter, dan saling serang di status. Cara berpikir seperti ini membuat seorang anak berani melawan kepada orang tuanya, dan membuat seorang tua berkata kasar kepada anaknya. Seorang bos berpikir, kalau dampratan ini tidak saya semprotkan kepada karyawan saya, saya bisa sakit, maka dia pun mencaci maki karyawannya. Karyawan tidak berani melawan, maka dia menjelek-jelekkan bos di depan rekan kerjanya, karena dia pikir, itu bisa membuatnya lega. Seorang istri menjadi kurang ajar kepada suaminya, karena takut jika marahnya dia tahan dia jadi sakit, sebaliknya suami pun jadi galak kepada istrinya, karena galak menurut dia adalah pembebasan rasa marah. Dan seterusnya.
Entah cara berpikir dari mana, tahu-tahu konsep itu sudah tersebar di masyarakat. Banyak orang mempercayai dan mempraktikkannya. Ramainya perang twitter di kalangan artis papan penggilesan, haha, papan atas maksud saya, membuktikan, jika konsep ini--konsep marah harus diekspresikan--sudah menjadi anutan banyak orang. Begitu mudah ajaran sesat ini tersebar!
Loh, berani sekali saya menyebut ini konsep sesat?
Tentu saja berani, sebab konsep itu bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berkenaan dengan marah, Alloh hanya menyuruh kita menahannya, seperti firman-Nya dalam salah satu ayat surat Ali Imran: "Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit, dan menahan marah dan memaafkan diantara manusia, dan Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik."
Sekali lagi, marah itu seharusnya ditahan. Ditahan dalam arti tidak diekspesikan, baik dalam bentuk sikap maupun dalam perkataan. Bukan ditahan dalam arti disimpan, sebab ditahan jenis ini mengandung arti ditahan dalam pikiran menjadi dendam.
Nabi pun mengajarkan begitu, beliau pernah bersabda, jika seseorang marah, sebaiknya dia diam. Ketika seseorang marah dalam keadan berdiri, sebaiknya dia duduk, jika duduk belum reda juga, sebaiknya dia berbaring, dengan cara ini,marah lebih mudah diredakan. Meredakan marah dengan membaringkan badan pernah mengingatkan saya pada konsep meredakan marah seperti yang diajarkan seorang Biksu Budha.
Nama biksu itu Ajahn Brahm. Saya sering mengutip namanya pada banyak tulisan saya. Dalam salah satu ceritanya dia katakan, agar seseorang tidak mudah marah, sebaiknya dia banyak istirahat. Seorang suami yang kerjanya marah-marah, bos yang kerjanya marah-marah, dan siapa pun yang mudah sekali marah, kemungkinan besar itu karena dia kurang istirahat. Dengan menidurkan badan, maka kemarahan itu akan reda.
Begitulah ternyata marah, baik ajaran Islam maunpun agama lain, sedikit pun tidak memberi peluangmengekspresikan. Yang ada adalah, menahannya dan jangan mengekspresikannya.
Sebagian orang mencoba menentang lagi. Kemarahan yang dieskpresikan itu bagus dan bisa bermanfaat. Misalnya kemarahan yang disalurkan ke dalam kerja, ke dalam kegiatan mencangkul sawah misalnya, maka pekerjaan itu akan lebih cepat selesai. Atau bagi seorang penulis, bukankah bagus jika kemarahannya itu dia ekspresikan ke dalam tulisan. Dengan cara itu tulisannya akan lebih emosiona, menarik minat pembaca, dan menggugah emosi siapa pun yang membacanya.
Baik, kalau mau silahkan saja coba, dan catat apa saja hasilnya. Mengekspresikan marah ke dalam mencangkul, mungkin saja membuat pekerjaan itu lebih cepat tuntas, tapi mencangkul seperti apa yang terjasi, mencangkul dengan keras menggebukkan cangkul? kasihan gagang cangkul, cepat patah dong, air jadi muncrat ke wajah, baju kotor, dan bisa jadi, karena dengan marah, segalanya jadi kurang kendali, bisa-bisa mata cangkul makan jari kaki. Menulis untuk mengeskpresikan marah juga sama, bisa kita tebak tulisan apa yang dihasilkan. Tulisan berisi penghinaan, kata-kata menyakitkan, cacian, makian, umpatan, yang sialnya, semua kata-kata buruk itu, bukan hanya berakibat buruk bagi orang lain, yang terpenting, berakibat buruk bagi diri sendiri. Sebuah penelitian menyebutkan, orang yang banyak menyebutkan keburukan lebih mudah terkena penyakit, sebaliknya orang-orang dengan koleksi kata-kata kebaikan lebih banyak, tubuhnya lebih kebal, dan umurnya lebih awet. Ini bisa Anda baca pada buku Martin E. Sellingman.
Mengingat kita akan meninggal dunia, dan tulisan itu akan menjali amal jariyah yang mengalirkan pahala, maka tulisan bernada kedamaian lebih bagus ditulis daripada tulisan bernada kemarahan. Mungkin saja tulisan itu bagus, emosinya kiat, sampai kepada orang yang membacanya, namun maukah tulisan kita jadi penginspirasi terjadinya huru-hara. Maaf, semua ini hanya kritisi pada diri sendiri, sebab saya dulu, sukanya begitu, suka sekali mengekspresikan marah dan kekesalan pada tulisan.
Tidak ada kebaikan pada marah yang diekspresikan. Jika marah itu disemprotkan kepada orang, maka orang itu akan balik marah. Jika orang itu berani, bisa menimbulkan pertengkaran, dan jika orang itu tidak berani, dan beraninya mengoceh di belakang, maka ghibah, fitnah dan permusuhan bisa terjadi karenanya. Coba pikirkan jika misalnya marah itu ditahan, maka semua hal negatif itu tidak akan terjadi.
Sebaliknya, menurut sunnah dan kitab suci, seharusnya marah itu ditahan. Takkan pernah kita rasakan manisnya, kecuali kalau kita mempraktikkannya. Lelah saat mengerjakannnya, namun memuaskan ketika merasakan hasilnya. Akal yang selalu membantah takkan pernah mempercayai ini, sebab hanya hati yang beriman yang mau menerimanya. Orang-orang yang dengan ikhlas menahan amarahnya, karena mencari keridhoan Alloh, maka dia akan kaget, akan dia rasakan keajaiban, ternyata menahan amarah memang luar biasa hasilnya, bahagia setelahnya, tiada penyesalan di akhirnya.
Ya keajaiban, orang yang menahan amarah akan merasakan keajaiban. Dan jika Anda merasakannya, tidak usah banyak bertanya lagi. Segera saja yakinkan, itulah mukjizat Al-Qur'an.
Sebaliknya, menurut sunnah dan kitab suci, seharusnya marah itu ditahan. Takkan pernah kita rasakan manisnya, kecuali kalau kita mempraktikkannya. Lelah saat mengerjakannnya, namun memuaskan ketika merasakan hasilnya. Akal yang selalu membantah takkan pernah mempercayai ini, sebab hanya hati yang beriman yang mau menerimanya. Orang-orang yang dengan ikhlas menahan amarahnya, karena mencari keridhoan Alloh, maka dia akan kaget, akan dia rasakan keajaiban, ternyata menahan amarah memang luar biasa hasilnya, bahagia setelahnya, tiada penyesalan di akhirnya.
Ya keajaiban, orang yang menahan amarah akan merasakan keajaiban. Dan jika Anda merasakannya, tidak usah banyak bertanya lagi. Segera saja yakinkan, itulah mukjizat Al-Qur'an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar